Selamat Datang Kaum Urban

Jelang lebaran biasanya anak-anak muda harus bersiap diberondong pertanyaan seperti; kenapa masih jomblo, kapan kawin, kapan punya anak, kapan nambah anak lagi, dan masih banyak lagi pertanyaan klise lainnya. Sebaliknya, setelah lebaran berlalu, tidak sedikit pula yang harus menyiapkan jawaban ketika ditanya: mau kerja apa di kota, apa punya uang untuk modal hidup di kota, punya keahlian apa, atau pertanyaan-pertanyaan serupa lainnya.

Ya, arus balik lebaran bukan hanya mengembalikan orang-orang yang tinggal atau bekerja di wilayah perkotaan. Dia juga menjadi semacam ‘kendaraan’ yang akan membawa calon kaum urban, atau mereka yang siap bertarung mengadu nasib dan mencari kehidupan yang lebih baik di kota.

Di negara-negara berkembang, termasuk juga di Indonesia, melawan arus urbanisasi seperti melawan gravitasi. Tidak terelakkan. Kesempatan kerja yang luas, tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibanding di desa, aglomerasi ekonomi, dan beragamnya keahlian setiap orang dan badan usaha yang ada di kota, membuat jutaan orang tergoda untuk beranjak ke kota. Di level Asia Tenggara, misalnya, dalam lima tahun lagi diproyeksikan 405 juta orang dari 726 juta orang akan tinggal di wilayah perkotaan (ASEAN, 2022). Jumlah tersebut berarti bertambah 105 juta penduduk bila dibandingkan kondisi sepuluh tahun lalu. Pun demikian di Indonesia. Pada tahun 2030, dalam proyeksi yang linier diperkirakan akan ada tambahan 48 juta orang akan tinggal di kota, dan pada Tahun Indonesia Emas 2045 bakal ada 220 juta orang tinggal di berbagai kota di Tanah Air.

Ledakan penduduk di perkotaan bagi beberapa negara menjadi sebuah berkah, karena urbanisasinya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di negaranya. Bahkan kota-kota nya berubah menjadi kota global yang terkoneksi dan masuk dalam jaringan ekonomi dunia. Tapi bagi beberapa negara lainnya, seperti di Indonesia, situasi itu acapkali dianggap sebagai masalah, karena justru dianggap sebagai biang keladi dalam menciptakan lingkungan hunian yang kumuh, menyumbang kemacetan, dan bahkan polusi udara.

Alhasil meski peningkatkan jumlah penduduk di perkotaan dipercaya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, akan tetapi dampak urbanisasi terhadap pertumbuhan ekonomi di suatu negara berbeda-beda. Ada negara China yang dalam kurun waktu 1980 sampai 2011, bisa tumbuh ekonominya hampir 8,9% setiap tahun dengan laju urbanisasi super cepat 1% per tahun. Tapi ada juga negara Sri Lanka yang dalam kurun waktu yang sama bisa tumbuh 3,8% per tahun dengan laju urbanisasi -0,12% per tahun (Chen M, Zhang H, Liu W, Zhang W, 2014). Pun demikian dampaknya terhadap PDB per kapita. Di negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik, 1% pertambahan populasi di perkotaan dalam kurun waktu 1996 sampai 2016 berkontribusi terhadap peningkatan 2,7% PDB per kapita, bahkan mencapai 3% di China dan 1,4% di Indonesia (World Bank, 2019).

Urbanisasi memang memiliki potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi sejauh mana potensi ini terwujud kemungkinan besar tergantung pada seberapa kondusif lingkungan kelembagaan dan seberapa tepat investasi dalam infrastruktur publik. Menghapus hambatan mobilitas antara pedesaan dan perkotaan dapat memungkinkan pertumbuhan ekonomi, tetapi manfaat ekonomi akan jauh lebih besar dengan kebijakan yang mendukung, dan investasi yang tepat pada infrastruktrur (Turok I, McGranahan G, 2013). Sehingga pengaruh urbanisasi bukan hanya bergantung pada siapa yang datang ke kota, apakah yang bersangkutan punya uang, punya keahlian, atau sudah punya pekerjaan. Tetapi dampak urbanisasi bergantung pada bagaimana otoritas pengambil kebijakan memanfaatkan sumber daya yang ada dalam mengelola urbanisasi.

Paradoks Urbanisasi di Indonesia

Di Indonesia, sebagaimana seringkali diucapkan dan dilakukan oleh para Pejabat justru cenderung membendung arus urbanisasi. Seolah mengharapkan migrasi penduduk dari desa ke kota hanya diperbolehkan bagi mereka yang sudah punya pekerjaan ataupun keahlian profesional. Padahal di perkotaan, bukan untuk membenarkan pekerjaan di sektor informal, tapi dengan adanya aglomerasi ekonomi, pendatang yang hanya bermodal keterampilan mencukur atau kepiawaian mengemudi kendaraan saja sudah bisa dapatkan penghasilan yang lebih baik daripada di Perdesaan.

Bahkan, lebih besar daripada itu, sumber daya fiskal dan kebijakan belum diarahkan untuk menjadikan perkotaan dan urbanisasinya sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh pada sektor perumahan, dari tiga juta rumah yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo, dua juta diantaranya justru diarahkan ke daerah perdesaan dan pesisir. Padahal kesenjangan antara kepemilikan serta ketersediaan (backlog) perumahan terbesar justru berada di perkotaan. Pun demikian dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, sebagai kerangka acuan pembangunan nasional lima tahun kedepan. Salah satu prioritas dari delapan prioritas nasional adalah: membangun dari desa dan dari bawah untuk pertumbuhan ekonomi, pemerataan ekonomi, dan memberantas kemiskinan. Artinya arah kebijakan pembangunan nasional justru diarahkan ke daerah perdesaan. Padahal di seluruh dunia episentrum perekonomian adanya di wilayah perkotaan.

Belum lagi dukungan kebijakan dan anggaran untuk Perdesaan. Didukung dari tingkat pusat dengan adanya kementerian desa, bahkan dukungan anggaran dana desa setiap tahunnya. Sementara dukungan yang setimpal hampir tidak terjadi di perkotaan. Tidak ada kementerian khusus, kebijakan spesial, apalagi anggaran yang terkonsentrasi di perkotaan.

Para pemimpin kota seperti ditinggal berjuang mengelola kotanya masing-masing. Padahal tuntutan pada pemimpin kota semakin besar, mulai dari meningkatkan kontribusinya dalam perekonomian nasional dan global maupun dalam menurunkan biaya hidup, mulai dari biaya transportasi, biaya perumahan, hingga biaya lainnya yang muncul akibat sampah maupun kesehatan. Apalagi berbagai tujuan pembangunan dunia juga semakin bertumpu pada wilayah perkotaan, mulai dari New Urban Agenda, Paris Agreement, Sustainable Development Goals (SDGs), dan lain sebagainya. Kedepan kita perlu mengelola urbanisasi dan diarahkan sebagai upaya transformasi perkotaan. Sehingga urbanisasi bukan menciptakan masalah, justru menjadi berkah bagi kemajuan pembangunan nasional.

Momen lebaran tahun 2025 ini mudah-mudahan menjadi momentum untuk kembali kepada fitrahnya. Dengan target pertumbuhan ekonomi yang ambisius 8%, sumber daya yang ada seyogianya diarahkan pada mesin ekonomi perkotaan yang punya potensi menarik investasi, menciptakan lapangan kerja yang lebih beragam, dan meningkatkan pendapatan masyarakat secara lebih luas. Kita mulai dengan menerima kedatangan calon kaum urban dengan tangan terbuka. Menyambut orang-orang yang bersemangat untuk kehidupan yang lebih baik. Siapa tahu, suatu saat nanti mungkin salah satu dari mereka yang akan menciptakan perkotaan di Indonesia menjadi lebih maju lagi.

Artikel ini pernah dimuat di Harian KOMPAS pada 6 April 2025, bisa juga dibaca melalui tautan berikut https://www.kompas.id/artikel/selamat-datang-kaum-urban?utm_source=link&utm_medium=shared&utm_campaign=tpd_-_android_traffic 



Komentar